Bulletin BAZsukun 02/2012

Bulletin BAZsukun 02/2012
Halaman 1 & 4

Bulletin BAZsukun 02/2012

Bulletin BAZsukun 02/2012
Halaman 2-3

Bulletin BAZsukun 01/2012

Bulletin BAZsukun 01/2012
Halaman 1 & 4

Bulletin BAZsukun 01/2012

Bulletin BAZsukun 01/2012
Halaman 2-3

Sabtu, 03 September 2011

TIDURNYA ORANG ARIF DAN IBADAHNYA ORANG JAHIL

Tidurnya orang arif (alim) lebih utama daripada ibadahnya orang jahil (bodoh)”,  demikian disampaikan oleh Drs. H.M. Yusuf Mugnie pada saat ceramah singkat menjelang Qiyam Ramadhan di Masjid Jami’ Nurul Huda Jl. K.H. Mas Mansyur Kelurahan Loa Bakung Kecamatan Sungai Kujang pada Senin malam Selasa tanggal   9 Ramadhan 1432 Hijriyah = 8 Agustus 2011 Miladiyah dalam rangkaian Safari Ramadhan Walikota Samarinda H. Syaharie Ja’ang, S.H. M.Si. bersama Wakil Walikota Ir. H. Nusyirwan Ismail, M.Si.

Disampaikan oleh Mugnie tentang adanya dialog antara Rasulullah SAW dengan Iblis, bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW berangkat menuju masjid, sesampainya di depan pintu masjid beliau melihat iblis tengah berada di sana, lalu beliau bertanya : “hai iblis, mengapa engkau berada di sini, apa yang hendak kamu lakukan??”

Iblis menjawab: “sebetulnya aku hendak masuk kedalam masjid untuk mengoda orang orang yang sedang shalat, namun aku tidak mempunyai kekuatan karena aku takut dengan orang yang sedang tidur itu, dan akibatnya rencanaku batal”.

Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “hai iblis mengapa kamu tidak takut kepada orang yang tengah menjalankan shalat? Padahal ia sedang beribadah dan bermunajat pada Allah SWT? Mengapa yang kau takuti malah orang yang sedang tertidur?”

Iblis menjawab: “orang yang sedang mengerjakan shalat itu adalah orang bodoh dan gampang aku perdaya, sedang orang yang tertidur itu adalah orang yang arif, jika aku memperdaya dan merusak shalat si bodoh aku khawatir si arif akan terbangun dan membetulkan shalatnya si bodoh itu”

Lalu Rasulullah SAW bersabda: “tidurnya orang arif (alim) lebih utama daripada ibadahnya orang jahil (bodoh)”

Segenap jama’ah yang hadir dan  mengikuti ceramah tersebut  nampak antusias  mendengarkannya,  walaupun demikian masih terselip  pertanyaan  apakah mereka dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Kultum (ceramah singkat) dengan materi serupa juga disampaikan disampaikan oleh H. Mursyid menjelang Qiyam Ramadhan di Mushalla Al-Azhar Jl. Jakarta Blok H1 Kelurahan Loa Bakung Samarinda, pada hari Kamis malam Jum’at 26 Ramadhan 1432 Hijriyah = 25 Agustus 2011 Miladiyah.

Adanya ceramah singkat dan kultum di tempat berbeda oleh ustadz yang lain pula menunjukkan betapa pentingnya hal tesebut disampaikan kepada jama’ah yang giat beribadah di bulan Ramadhan.

Memang, ada dorongan bagi ummat Islam untuk meningkatkan ibadah dalam bulan Ramadhan karena nilai pahala  ibadah sunnah dalam bulan tersebut akan dinilai sama dengan pahala ibadah wajib dan pahala ibadah wajibnya dilipat gandakan. Dapatlah dipahami jika ummat Islam demikian bersemangat meningkatkan amal ibadah temasuk Qiyam Ramadhan (shalat Tarwih) dan tadarus Al-Qur’an.

InsyaAllah akan lebih bermakna, jika peningkatan amal ibadah itu tidak hanya dari sisi kuantitasnya saja, tetapi lebih dari itu juga meningkat kualitasnya, yaitu melakukannya dengan muttaba’ah dan ikhlas  hanya karena Allah SWT.

Pesan yang terkandung di dalamnya adalah bahwa dalam beribadah sangat diperlukan adanya ilmu agar ibadahnya tidak rusak dan sia-sia yaitu perlu tahu adanya dua syarat agar amal ibadah dapat diterima oleh Allah SWT, yaitu muttaba’ah dan ikhlas.

Muttaba'ah artinya mengikut seperti apa yang Rasulullah SAW bawakan dan ajarkan, karena sumber rujukan dalam beribadah setelah Al Qur'an adalah Sunnah Nabi, sedangkan ikhlas artinya hanya mengharap  ridha Allah SWT.

Kekhawatiran terhadap ditolak atau tidak diterimanya amal selama bulan Ramadhan oleh Allah SWT,  diekspresikan oleh para alim dikalangan ummat Islam saat bertemu dengan sesama muslim pada saat Iedul Fitri dengan mengucapkan do’a :  Taqobbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah kami dan amal ibadah anda sekalian).  
(Azk-2011, http://bazsukun.blogspot.com).



TIDURNYA ORANG ARIF DAN IBADAHNYA ORANG JAHIL



Tidurnya orang arif (alim) lebih utama daripada ibadahnya orang jahil (bodoh)”,  demikian disampaikan oleh Drs. H.M. Yusuf Mugnie pada saat ceramah singkat menjelang Qiyam Ramadhan di Masjid Jami’ Nurul Huda Jl. K.H. Mas Mansyur Kelurahan Loa Bakung Kecamatan Sungai Kujang pada Senin malam Selasa tanggal   9 Ramadhan 1432 Hijriyah = 8 Agustus 2011 Miladiyah dalam rangkaian Safari Ramadhan Walikota Samarinda H. Syaharie Ja’ang, S.H. M.Si. bersama Wakil Walikota  Ir. H. Nusyirwan Ismail, M.Si.

Disampaikan oleh Mugnie tentang adanya dialog antara Rasulullah SAW dengan Iblis, bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW berangkat menuju masjid, sesampainya di depan pintu masjid beliau melihat iblis tengah berada di sana, lalu beliau bertanya : “hai iblis, mengapa engkau berada di sini, apa yang hendak kamu lakukan??”

Iblis menjawab: “sebetulnya aku hendak masuk kedalam masjid untuk mengoda orang orang yang sedang shalat, namun aku tidak mempunyai kekuatan karena aku takut dengan orang yang sedang tidur itu, dan akibatnya rencanaku batal”.

Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “hai iblis mengapa kamu tidak takut kepada orang yang tengah menjalankan shalat? Padahal ia sedang beribadah dan bermunajat pada Allah SWT? Mengapa yang kau takuti malah orang yang sedang tertidur?”

Iblis menjawab: “orang yang sedang mengerjakan shalat itu adalah orang bodoh dan gampang aku perdaya, sedang orang yang tertidur itu adalah orang yang arif, jika aku memperdaya dan merusak shalat si bodoh aku khawatir si arif akan terbangun dan membetulkan shalatnya si bodoh itu”

Lalu Rasulullah SAW bersabda: “tidurnya orang arif (alim) lebih utama daripada ibadahnya orang jahil (bodoh)”

Segenap jama’ah yang hadir dan  mengikuti ceramah tersebut  nampak antusias  mendengarkannya,  walaupun demikian masih terselip  pertanyaan  apakah mereka dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Kultum (ceramah singkat) dengan materi serupa juga disampaikan disampaikan oleh H. Mursyid menjelang Qiyam Ramadhan di Mushalla Al-Azhar Jl. Jakarta Blok H1 Kelurahan Loa Bakung Samarinda, pada hari Kamis malam Jum’at 26 Ramadhan 1432 Hijriyah = 25 Agustus 2011 Miladiyah.

Adanya ceramah singkat dan kultum di tempat berbeda oleh ustadz yang lain pula menunjukkan betapa pentingnya hal tesebut disampaikan kepada jama’ah yang giat beribadah di bulan Ramadhan.

Memang, ada dorongan bagi ummat Islam untuk meningkatkan ibadah dalam bulan Ramadhan karena nilai pahala  ibadah sunnah dalam bulan tersebut akan dinilai sama dengan pahala ibadah wajib dan pahala ibadah wajibnya dilipat gandakan. Dapatlah dipahami jika ummat Islam demikian bersemangat meningkatkan amal ibadah temasuk Qiyam Ramadhan (shalat Tarwih) dan tadarus Al-Qur’an.

InsyaAllah akan lebih bermakna, jika peningkatan amal ibadah itu tidak hanya dari sisi kuantitasnya saja, tetapi lebih dari itu juga meningkat kualitasnya, yaitu melakukannya dengan muttaba’ah dan ikhlas  hanya karena Allah SWT.

Pesan yang terkandung di dalamnya adalah bahwa dalam beribadah sangat diperlukan adanya ilmu agar ibadahnya tidak rusak dan sia-sia yaitu perlu tahu adanya dua syarat agar amal ibadah dapat diterima oleh Allah SWT, yaitu muttaba’ah dan ikhlas.

Muttaba'ah artinya mengikut seperti apa yang Rasulullah SAW bawakan dan ajarkan, karena sumber rujukan dalam beribadah setelah Al Qur'an adalah Sunnah Nabi, sedangkan ikhlas artinya hanya mengharap ridha Allah SWT.

Kekhawatiran terhadap ditolak atau tidak diterimanya amal selama bulan Ramadhan oleh Allah SWT,  diekspresikan oleh para alim dikalangan ummat Islam saat bertemu dengan sesama muslim pada saat Iedul Fitri dengan mengucapkan do’a :  Taqobbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah kami dan amal ibadah anda sekalian).  (Azk-2011, http://bazsukun.blogspot.com).



Kamis, 04 Agustus 2011

Akhlaq : MENGENDALIKAN SUARA , MENDEKATKAN HATI ANTAR MANUSIA



Seseorang yang sedang marah sering menunjukkan perilaku umum yaitu bersuara keras, bahkan memaki-maki diri sendiri, membentak-bentak objek kemarahan, atau berteriak-teriak sambil merusak barang-barang di sekitarnya. Bahkan, kalaupun pada saat marah dia  diam seribu bahasa, hati sebenarnya juga berteriak-teriak meskipun tak terdengar oleh orang lain. Teriakan suara hati ini juga bisa dikategorikan sebagai  bersuara keras.
Ada pertanyaan,  mengapa saat seseorang marah  ia bersuara keras, padahal orang-orang yang menjadi sasaran kemarahan berada tak jauh? Bukankah sebenarnya cukup bersuara dengan volume sedang atau pelan pada saat “menyampaikan” kemarahan, karena toh orang-orang yang  dimarahi tidaklah tuli?
Kata orang bijak Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi. Sebaliknya, ketika dua orang saling jatuh cinta maka mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apa pun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak sehingga sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan.”

Artinya, kemarahan bisa membentangkan jarak menjadi jauh antara hati seseorang dengan hati orang-orang yang dimarahi. Hal ini ditandai dengan suara keras yang diperdengarkan. Logikanya cukup sederhana, suara yang keras diperlukan untuk menyampaikan pesan kepada orang yang berada relatif jauh. Kalau ia berada dekat tentu cukup dengan bersuara pelan saja. Nah, dalam kondisi marah, suara keras membuat hati seseorang terasa jauh dari hati orang yang dimarahi meskipun secara fisik keduanya berdekatan.
Semakin keras seseorang yang marah  membentak, maka jarak yang membentang diantara keduanya semakin lebar. Efek emosional dari bentangan jarak itu adalah rasa geram yang semakin membesar kepada objek kemarahan seiring detik demi detik yang dilalui ketika seseorang sedang marah.

Insya Allah kondisi yang terjadi adalah sebaliknya jika  seseorang bisa mengendalikan suara  yaitu lebih memilih bersuara lembut saat kemarahan datang. Suara lembut ini dapat mendekatkan kembali dua hati manusia  yang bergerak menjauh saat dilanda banjir amarah.       Pada akhirnya, kemarahan tersebut ditutup dengan pemaafan, keridhaan, dan rasa cinta. Dalam suasana tenang pun suara lembut ini menjadi lambang cinta. Lihat saja seorang suami yang sedang menyatakan cinta kepada istrinya. Suaranya begitu lembut, pelan, dan bahkan sampai tak terdengar. Walaupun tak terdengar sang istri tetap dapat merasakan dan memahami curahan cinta itu, cukup dengan menatap mata sang suami. Dan begitu pula sebaliknya.    Hal ini disebabkan hati mereka menjadi sangat dekat satu sama lain.

Dikutip dan disarikan  dari :
http://heartofalfikr.wordpress.com/2007/11/24/bentang-di-antara-dua-hati/

TUNTUNAN AL-QUR’AN :

"Dan sebutlah (Nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut (pada siksaan-Nya), serta tidak mengeraskan suara,        di waktu pagi dan petang.  Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. " (QS. Al-A'raaf: 205)

“Sederhanalah kamu dalam berjalan dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. (QS Luqman :  19).